JAKARTA — HERO JURNAL,- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan tersebut tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang dibacakan dalam sidang terbuka di Gedung MKRI, Jakarta, Kamis (26 Juni 2025).
Dalam amar putusannya, MKRI menegaskan adanya sejumlah ketentuan dalam UU Pemilu yang dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kesetaraan politik. Mahkamah menyatakan beberapa pasal dalam UU tersebut inkonstitusional bersyarat, dan memerintahkan pemerintah serta DPR untuk segera melakukan perbaikan.
"Mahkamah menemukan bahwa beberapa ketentuan dalam UU Pemilu membuka celah ketidakpastian hukum dan ketidaksetaraan antar peserta pemilu, khususnya bagi partai-partai politik baru," tegas Ketua MKRI, Suhartoyo, saat membacakan putusan.
Poin-Poin Penting Putusan MK
Putusan MKRI antara lain mencakup: Ketentuan mengenai proses verifikasi partai politik peserta pemilu harus menjaminkesetaraan antara partai politik baru dan lama. Proses penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Sistem proporsional terbuka tetap berlaku, namun wajib mengutamakan prinsip keadilan representasi.Pemerintah dan DPR diperintahkan untuk segera melakukan revisi terbatas atas pasal-pasal yang bermasalah demi menjamin kepastian hukum.
Putusan ini bersifat final dan mengikat, yang berarti wajib dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan terkait.
Perludem: Momentum Evaluasi Total Sistem Pemilu
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menyambut positif putusan ini sebagai langkah penting menuju sistem pemilu yang lebih adil dan setara.
"Kami berharap putusan ini bukan hanya sekadar koreksi administratif, tetapi menjadi momentum evaluasi total terhadap sistem kepemiluan kita yang selama ini cenderung berpihak pada kelompok tertentu," ujarnya kepada HERO JURNAL.
Khoirunnisa juga mengingatkan bahwa implementasi putusan MK menjadi kunci utama. "Tanpa political will dari DPR dan pemerintah, putusan ini hanya akan menjadi dokumen hukum tanpa makna substantif," tambahnya.
Pakar: Bukti Kerapuhan Demokrasi
Pakar hukum tata negara, Dr. Bivitri Susanti, menilai putusan MKRI ini sekaligus menjadi alarm keras atas kerapuhan sistem demokrasi Indonesia.
"Ketika aturan-aturan pemilu justru menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakpastian hukum, itu menunjukkan ada masalah serius dalam desain legislasi kita. Putusan ini wajib jadi koreksi fundamental," kata Bivitri.
HERO JURNAL Catat: Rakyat Harus Awasi Revisi UU Pemilu
Putusan MKRI ini membuka ruang perbaikan, namun publik tak boleh lengah. Sejarah menunjukkan, revisi UU Pemilu kerap kali hanya berpihak pada elit politik, bukan rakyat.
HERO JURNAL mengajak seluruh masyarakat sipil, akademisi, dan media untuk terus mengawal proses revisi Undang-Undang Pemilu. Tanpa pengawasan publik yang kuat, perbaikan sistem pemilu hanya akan menjadi jargon politik tanpa hasil nyata.
Demokrasi yang sehat butuh aturan yang adil. Perbaikan pemilu adalah hak rakyat, bukan hanya kepentingan elite!
HERO JURNAL — Suara
Kritis untuk Demokrasi